Ticker

6/recent/ticker-posts

Ayah


Tiga tahun lalu, saya wisuda sarjana strata 1. Mencapai posisi itu tidaklah mudah. Bukan bagiku, melainkan orang tuaku (Ayahku). Sejujurnya, secara akademik aku tidak pernah menemukan persoalan. Cukup waktu tiga minggu bagiku untuk merampungkan skripsi. Pun aku bisa lulus tepat waktu dan menyandang predikat cumlaude.

Tapi tidak bagi Ayah. Aku yakin, di kampung yang jauh sana, ia sedang melawan peluh seorang diri, demi diriku. Wajahnya mulai keriput, rambutnya beruban, tenaganya melemah. Meski demikian, aku tidak pernah mendengar ia mengeluhkan keadaan. Yang kutahu, Ayah berpesan sebagaimana orang tua pada umumnya, “Cukup Ayah saja yang tidak berpendidikan tinggi, tapi kamu harus berpendidikan tinggi.” Mungkin atas dasar harapan itu, bara dan api tidak pernah dirasa.

Ayahku seorang petani, hidup di desa yang pelosok nan jauh di Lamongan sana. Saking pelosoknya, jikalau aku mengirimkan pesan Whatsapp ke Ayah, mungkin sejam kemudian baru masuk–sinyal belum stabil. 

Aku ingin berkisah tentang Ayahku, juga pekerjaannya sebagai seorang petani. Suatu pekerjaan yang dianggap sebagaian orang rendah, bahkan hina. Tak terkecuali aku sendiri–anaknya.

Dulu sewaktu aku hendak melanjutkan ke SMP, ada isian formulir yang menanyakan pekerjaan orang tua. Aku tidak mengisinya–aku malu. Ketika lembaran itu aku serahkan ke panitia pendaftaran, ia menyuruhku mengisinya. Saat itu demi menepis rasa maluku, aku mengisinya ‘Wiraswatsa’. Setidaknya bagiku itu lebih keren dibandingkan dengan petani.

Baiklah, aku sudah menjadi siswa SMP kala itu. Pernah suatu ketika, aku naksir teman sekelasku, Leni namanya. Dia anak konglomerat. Ayahnya seorang pengusaha Kenaf (salah satu jenis tumbuhan berserabut di daerahku) dan ibunya seorang bidan. Jelasnya, aku dan dia tidak sekufu. Dan tidak butuh waktu lama, beberapa hari semenjak rasa itu, dia menjumpaiku sedang menjemur kulit Kenaf di depan rumah. Sialnya, kulit Kenaf setelah kering nanti, diborong oleh Ayahnya Leni. Sudah diputuskan, aku mundur total–aku hanya anak petani yang hasil pertaniannya diborong oleh Ayah perempuan yang kutaksir.

Setahun kemudian, daerahku diterjang banjir. Bagi petani banjir merupakan musibah terbesar, lebih dari wereng atau hama yang mengakibatkan gagal panen. Hama tanaman tidak memerlukan waktu pemulihan. Setelah gagal panen, bulan berikutnya sawah sudah bisa ditanami. Namun banjir memerlukan waktu berbulan-bulan untuk pemulihan sebelum bercocok tanam.

Banjir menyebabkan aku dan warga desa lainnya tidur dan makan di atas air. Kurang lebih sebulan, aku lebih sering makan mie instan–tidak ada nasi. Akibat terlalu banyak makan mie instan, perutku bermasalah, mencret-mencret tak tertahankan. Semenjak itu aku sadar, betapa berjasanya para petani demi keberlangsungan hidup manusia. Dan Ayah termasuk satu dari sekian banyak petani itu.

Waktu berlalu, tiba saatnya aku melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya–aku memilih SMK. Berbeda dengan sebelumnya, pada isian formulir aku mengisinya dengan huruf kapital dan tebal, aku anak seorang PETANI. Aku mengisinya dengan penuh kebanggaan.
 

Ayahku petani, Ayahku hebat. Banyak yang tidak mengenalnya, tapi mereka merasakan hasil kerja keras Ayah: Beras. Dari bulir-bulir kecil itu, banyak orang yang perutnya dikenyangkan, dan siap melanjutkan kehidupan.

Berjalannya waktu, aku semakin jatuh cinta dengan pekerjaan Ayah. Aku lebih sering ikut ke sawah, membantunya mencabuti rumput, berburu tikus, memeriksa aliran air, dan lainnya. 

Sampai suatu ketika, kulihat jari-jari kaki Ayah yang membuat hatiku teriris. Betapa durhakanya diriku, sebagai seorang anak aku baru saja tahu kalau jari-jarinya sudah tidak lengkap. Jempol kakinya sudah berkurang, tidak berkuku. Sebagian ujung jari kakinya menghitam. Lebih lagi, jari kelingking Ayah sudah tidak berujung.

Kondisi jari-jari kaki Ayah bisa seperti itu karena pekerjaannya. Aku bisa menebaknya. Kaki Ayah sedang terendam lumpur, dan saat Ayah mengayunkan cangkul, benda tajam itu menebas kaki yang tertutupi lumpur. Aku tidak bisa membayangkan. Aku menahan tangis dan meminta maaf kepadanya.

Sebagai jawaban ia memberikan petuah padaku, “Kita boleh saja gagal, tapi kita tidak boleh mengeluh.” Kata Ayah, itu bukan saja mental petani, tapi mental yang harus dimiliki semua orang. Adakalanya petani gagal panen, tapi petani tidak boleh mengeluhkan kondisi itu. Siapapun dia, apapun pekerjaannya, di manapun dia tinggal, tidak boleh mengeluh.

Kini aku sudah sarana, tapi dibandingkan Ayah, kebermanfaatanku untuk sesama mungkin baru sejumput kecil. Sudah berpuluh tahun ia menyebarkan energi kehidupan untukku, keluarga, dan orang lain yang tidak dikenalnya. Dan harus kuakui, kesarjanaanku merupakan wujud yang dari impian Ayahku bersamaan dengan punggungnya yang hitam dan kulitnya yang semakin keriput.

Dari Ayah, aku belajar. Hidup bukan tentang siapa kita, melainkan apa yang bisa kita lakukan untuk kebaikan sesama. Hidup bukan tentang apa profesi kita, melainkan kebermanfaatan apa yang bisa kita sebarkan untuk umat. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah bertuah demikian. 

-------------
Ditulis Oleh: Rozak Al-Maftuhin
Anak bungsu Pak Sukardi (Petani)

Posting Komentar

0 Komentar